Sengketa Lahan di Desa Bondoyong, 47 Hektare Tanah Erfacht Diperebutkan

Sengketa Lahan di Desa Bondoyong Terkait 47 Hektare Tanah Erfacht Diperebutkan. Foto/IST

PARIGI MOUTONG – Sebuah konflik agraria tengah mencuat di Desa Bondoyong, Kecamatan Sidoan, Kabupaten Parigi Moutong.

Lahan bekas peninggalan Belanda seluas ±47,3 hektare, yang kini ditanami sekitar 700 pohon kelapa.

Menjadi sengketa antara warga dan seorang pendeta yang mengklaim mewakili Sinode gereja tertentu.

Isu ini menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk wartawan dan LSM, bahkan pegiat hukum dari LBH.

Karena menyangkut hak pengelolaan dan kepemilikan lahan yang sudah bertahun-tahun digarap tanpa kejelasan legalitas.

Kepala Desa Bondoyong, Kecamatan Sidoan, Kabupaten Parigi Moutong, Ruain Dumpaku, yang dikonfirmasi wartawan media ini.

Terkait isu sengketa lahan bekas peninggalan Belanda (tanah erfacht) seluas ±47,3 hektare di Desa Bondoyong, yang ditanami sekitar 700 pohon kelapa.

Sebagaimana yang kami peroleh dari sejumlah informasi lapangan, saat ini tengah terjadi perselisihan klaim antara warga desa dengan pihak Sinode.

Khususnya oleh seorang Pendeta yang mengaku mendapat amanah pengelolaan dari Gereja Fetra.

Adapun beberapa hal yang ingin kami konfirmasi dan klarifikasi langsung dari Bapak selaku Kades Bondoyong, sebagai berikut:

1. Benarkah lahan sengketa tersebut saat ini diklaim oleh salah seorang pendeta atas nama Gereja Fetra/Sinode, dan yang bersangkutan telah berdomisili cukup lama di wilayah tersebut?

2. Menurut informasi warga, selama 23 tahun terakhir, pengelolaan lahan dilakukan tanpa pembayaran pajak.

Pendeta bersangkutan mengaku bebas pajak, meski di awal katanya sempat membayar, namun tidak ada laporan yang masuk ke kantor desa.

Mohon tanggapan atau konfirmasi dari pihak desa terkait hal ini?

3. Apakah benar kasus ini telah dalam proses penyelidikan di pihak Kepolisian sejak tahun 2022, dan apakah pemerintah desa turut dilibatkan dalam proses tersebut?

4. Masyarakat mengungkapkan keresahan atas adanya dugaan dukungan dari oknum aparat atau pihak tertentu terhadap pendeta tersebut, sehingga muncul kesan keberpihakan.

Mohon klarifikasi dari pihak desa terkait hal ini?

5. Berdasarkan dokumen yang dimiliki warga, disebutkan bahwa lahan tersebut merupakan tanah negara dan tanah adat, dengan bukti surat dari BPN.

Mohon konfirmasi dari desa mengenai keberadaan dan legalitas dokumen tersebut?

Dikonfirmasi terkait hal ini, Kepala Desa Bondoyong, Kecamatan Sidoan, Kabupaten Parigi Moutong, Ruain Dumpaku, kepada media ini, baru-baru ini, memberikan tanggapan diantaranya :

1. Klaim mengklaim itu benar pak,tapi di sini yang mengklaim bukan gereja Fetra tetapi Oknum yang mengatasnamakan Sinode karena yang katanya dia mendapat perintah/ surat kuasah mengelola kebun erfacht yang ada di desa Bondoyong, kalau berdomisili sekitar Tahun 90an.

2. Ya benar, kurang lebih 23 Tahun penguasaan erfacht tersebut tidak pernah membayar pajak dan bahkan katanya lahan tersebut sudah di bebas pajakan oleh Daerah, kalau bahasa yang katanya pernah bayar pajak itu tidak benar, karena yang setahu kami sebagai pemerintah desa yang pernah bayar pajak di tahun 1994 dan itu yang terakhir bayar pajak yang masih atas nama ahli waris (ibu ES) kalau yang namanya pendeta atau sinode itu tidak pernah bayar pajak.

3. Kalau THN 2022 itu persoalan antara gereja Petra (EK) dan pihak sinode (YA) bukan sengketa antara masyarakat dan sinode (YA), kalau sengketa antara masyarakat dan YA nanti di tahun 2024 sesuai bukti yang dilapor oleh YA di kepolisian.

4. Kalau itu memang pasti dan ini oknum.

5. Kalau legalitas dasar penuntutan masyarakat kami kirim pak. Demikian.

Menanggapi hal ini, Kepala Desa Bondoyong, Ruain Dumpaku, akhirnya angkat bicara untuk meluruskan sejumlah informasi.

Menurutnya, benar telah terjadi klaim sepihak atas lahan tersebut, namun bukan oleh institusi resmi seperti Gereja Fetra.

“Yang mengklaim itu oknum yang mengatasnamakan Sinode. Katanya dia punya surat kuasa untuk mengelola kebun erfacht, dan memang sudah berdomisili di sini sejak tahun 1990-an,” jelas Kades Ruain saat dikonfirmasi oleh tim media.

Persoalan makin rumit karena selama hampir 23 tahun, lahan tersebut dikuasai tanpa adanya pembayaran pajak.

Pendeta tersebut sempat mengaku bebas pajak, namun pemerintah desa menyebut klaim itu tidak berdasar.

“Setahu kami, terakhir kali lahan itu bayar pajak tahun 1994 atas nama ibu ES, ahli waris yang sah. Setelah itu, tidak ada pembayaran pajak, apalagi atas nama yang sekarang mengaku sebagai pengelola,” terang Kades.

Konflik hukum juga mulai masuk ke ranah kepolisian.

Meski sebelumnya sempat terjadi persoalan antara dua pihak gereja pada tahun 2022.

Sengketa antara masyarakat dan oknum pendeta baru resmi dilaporkan tahun 2024.

Menjawab keresahan warga terkait dugaan keterlibatan aparat dalam memberikan dukungan kepada salah satu pihak.

Kades Bondoyong tak menampik adanya indikasi tersebut.

“Kalau soal keberpihakan, itu memang oknum. Kami juga tidak menutup mata,” katanya singkat.

Masyarakat sendiri mengklaim memiliki dokumen resmi dari BPN yang menyatakan bahwa lahan tersebut adalah tanah negara dan tanah adat.

Bukan milik pribadi atau institusi keagamaan mana pun.

Pihak desa menyebut siap memberikan dasar legalitas klaim warga.

Sengketa ini kini menjadi ujian keadilan dan transparansi, baik bagi masyarakat maupun pemerintah daerah.

Warga berharap proses hukum berjalan tanpa intervensi dan berpihak pada kebenaran.

pasang iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!