Palu — Kamis siang, 23 Oktober 2025, halaman Mapolresta Palu diselimuti suasana tegang.
Di bawah terik matahari yang nyaris tak bersahabat, sejumlah personel Satuan Reserse Kriminal berdiri membentuk lingkaran kecil, membatasi area dengan garis polisi kuning.
Di tengahnya, seorang pria berkaus oranye dengan kepala tertunduk, tersangka A, tampak pasrah.
Hari itu bukan sekadar rutinitas kepolisian. Hari itu adalah rekonstruksi berdarah, upaya menyusun kembali potongan tragedi yang terjadi di Jalan Hang Tuah, Lorong Bukit Sofa Blok C, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore.
Sebuah malam yang mengakhiri hidup seorang warga bernama Hasbi.
BACA JUGA : Mediasi Kasus Pemukulan Pelajar di Depan SMA N 1 Momunu: Polisi Jadi Penjaga Damai di Tengah Konflik Remaja
Detik-detik Sebelum Darah Tumpah
Peristiwa tragis itu terjadi Sabtu malam, 13 September 2025. Suasana di lorong sempit kawasan Bukit Sofa yang biasanya lengang, malam itu berubah menjadi arena pertikaian.
Menurut kronologi penyidik, adu mulut singkat antara korban dan pelaku menjadi awal malapetaka.
Kata-kata yang saling menyinggung, kemudian tubuh korban sempat mendorong dan memukul pelaku.
Namun emosi yang meledak hanya butuh satu detik untuk mengubah segalanya.
Dari pinggang kiri tersangka, sebilah badik terhunus cepat dan dalam satu gerak spontan, menembus perut kanan korban Hasbi.
Dalam adegan ke-15 yang diperagakan ulang di halaman Polresta, suasana hening.
Saksi-saksi menatap tanpa suara ketika penyidik memeragakan momen tusukan itu. Tubuh korban terjatuh, napasnya tersengal.
“Apa saya bilang tadi itu, bagaimana sudah ini!” kalimat yang diulang tersangka pada adegan ke-19, menggema di antara polisi dan saksi. Kata-kata itu kini menjadi gema penyesalan yang membekas.
Saksi dan Luka yang Tersisa
Rekonstruksi menampilkan 33 adegan yang merekam perjalanan tersangka A sejak berangkat dari Desa Dalaka, hingga detik ketika darah Hasbi tumpah di halaman rumah saksi Zualmin.
Lima saksi Zualmin, Kevin, Zafar Mustafa alias Aco, Mina, dan Husnaeni, memperagakan posisi dan reaksi mereka. Salah satunya menggambarkan momen paling memilukan:
Hasbi yang terluka masih sempat berdiri, berjalan sempoyongan menuju rumah. Sambil menahan darah di perutnya, ia berkata lirih kepada istrinya,
“Saya ditusuk Lan.”
BACA JUGA : Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Janji Kampanye Dievaluasi, Rakyat Sulawesi Tengah Menanti Bukti
Tak lama kemudian, tubuhnya roboh di depan rumah temannya, Lukman. Ia dilarikan ke RS Undata Palu, namun nyawanya tak tertolong.
Penyidik Rekonstruksi: Mencari Kebenaran di Balik Amarah
Rekonstruksi yang dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim Polresta Palu AKP Ismail Boby, S.H., M.H., didampingi IPTU Eric Iskandar, S.H. (Kanit Jatanras), berlangsung disiplin dan terukur.
Setiap gerak diperhatikan, setiap posisi disesuaikan, setiap kata dikonfirmasi. Penasihat hukum tersangka, Vifka Sari Masani, S.H., M.H., turut hadir memastikan rekonstruksi berjalan sesuai hukum acara.
Setelah seluruh adegan diperagakan, dokumen rekonstruksi dibacakan ulang. Tersangka A mengakui bahwa seluruh tahapan sesuai dengan kejadian sebenarnya.
“Tujuan rekonstruksi ini adalah untuk menggambarkan secara jelas peran masing-masing pihak dan kronologi yang menyebabkan korban meninggal dunia,” ujar AKP Ismail Boby seusai kegiatan.
Ia menegaskan, kasus ini disangkakan dengan Pasal 338 KUHP jo Pasal 351 ayat (3) tentang pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Suara Kemanusiaan dari Pimpinan Polresta
Dalam pernyataannya, Kapolresta Palu Kombes Pol Deny Abrahams menegaskan bahwa penyidik akan bekerja profesional dan transparan.
“Setiap kasus yang merenggut nyawa adalah ujian bagi rasa kemanusiaan kita. Kami berkomitmen menegakkan hukum dengan adil, tanpa pandang bulu, sambil tetap menjunjung empati kepada keluarga korban,” ungkapnya.
Pernyataan itu menjadi refleksi bahwa penegakan hukum tak hanya soal pasal dan bukti, tapi juga tentang menjaga nilai kemanusiaan di tengah luka yang ditinggalkan.
Catatan Investigatif: Jejak Amarah, Bayang Penyesalan
Dari setiap adegan yang diperagakan hari itu, tersirat jelas satu pelajaran: kemarahan sesaat mampu menelan hidup seseorang, dan menjerat yang lain dalam penyesalan panjang.
Ketika garis polisi akhirnya dilepaskan, dan halaman Polresta Palu kembali sunyi, hanya suara angin yang tersisa, seolah membawa pesan tentang harga mahal dari satu tindakan tanpa kendali.
Bahwa dalam setiap darah yang tumpah, selalu ada dua korban: yang kehilangan hidup, dan yang kehilangan masa depan.


























