Kasus Rangkap Jabatan Ketua BPD di Parimo Kembali Disorot

Adnyana Wirawan, anggota Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Parigi Moutong. (IST)

Parigi Moutong – Kasus dugaan rangkap jabatan yang melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kembali mencuat di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Isu ini menjadi perbincangan hangat, setelah adanya laporan bahwa Ketua BPD Desa Wanamukti, Kecamatan Bolano Lambunu, juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat Desa Wanamukti ramai membahas permasalahan ini.

Bahkan, sejumlah warga, termasuk dari kalangan kelompok tani, mulai menyuarakan keprihatinannya.

Salah satu anggota kelompok tani yang enggan disebutkan namanya menyampaikan bahwa peran ganda ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat tentang potensi konflik kepentingan.

Kepala Desa Wanamukti turut angkat bicara. Namun, ia mengaku tidak berani mengambil tindakan lebih jauh terkait posisi Imam Sopingi sebagai Ketua BPD sekaligus Ketua Gapoktan.

“Saya tidak bisa melakukan intervensi, karena ini menyangkut jabatan struktural di desa,” ujarnya.

Adnyana Wirawan, anggota Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Parigi Moutong, turut memberikan tanggapan.

Saat ditemui awak media di kediamannya pada 6 Januari 2025, Adnyana menyatakan bahwa secara hukum, rangkap jabatan Ketua BPD dan Ketua Gapoktan tidak sepenuhnya dilarang.

Namun, ia menekankan pentingnya memperhatikan sejumlah syarat dan ketentuan agar tidak terjadi konflik kepentingan.

“Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 memang tidak secara eksplisit melarang Ketua BPD untuk merangkap jabatan, namun ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, seperti potensi konflik kepentingan dan efektivitas pengelolaan waktu serta sumber daya,” ujar Adnyana.

Adnyana juga merujuk pada Peraturan Menteri Desa No. 4 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 86 Tahun 2013.

Dalam kedua regulasi tersebut, disebutkan bahwa rangkap jabatan diperbolehkan dengan syarat tidak ada konflik kepentingan dan pengelolaan tugas dapat dilakukan secara profesional.

Kriteria Penting yang Harus Dipenuhi Adnyana menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar rangkap jabatan Ketua BPD dan Ketua Gapoktan tidak menimbulkan masalah. Di antaranya:

  1. Tidak adanya konflik kepentingan antara kedua jabatan.
  2. Ketua memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang pertanian serta pengelolaan Gapoktan.
  3. Mampu menjalankan tugas di kedua posisi secara profesional.
  4. Mendapatkan persetujuan dari anggota BPD dan Gapoktan.

Namun, jika kriteria tersebut tidak terpenuhi, Adnyana menyarankan agar Ketua BPD memilih salah satu dari dua jabatan yang diembannya.

“Ketika semua unsur yang saya jelaskan di atas tidak terpenuhi, saya sarankan Ketua BPD mengambil sikap tegas dengan memilih salah satu jabatan saja,” tegasnya.

Potensi Risiko dan Dampak Rangkap Jabatan Adnyana juga menyoroti potensi risiko yang dapat muncul jika rangkap jabatan ini terus berlangsung tanpa pengawasan yang memadai.

Beberapa risiko tersebut meliputi:

  1. Terjadinya konflik kepentingan yang mempengaruhi pengambilan keputusan.
  2. Pengelolaan waktu dan sumber daya yang tidak efektif.
  3. Ketergantungan pada satu individu yang dapat menghambat proses demokrasi di desa.

Sebagai langkah preventif, Adnyana menyarankan pemerintah desa untuk melakukan konsultasi dan memastikan bahwa tidak ada potensi konflik kepentingan.

Selain itu, perlu dibuat perjanjian kerja yang jelas dan evaluasi rutin terhadap kinerja Ketua Gapoktan.

Meningkatkan Kesadaran Hukum di Tingkat Desa Kasus di Desa Wanamukti ini menunjukkan pentingnya kesadaran hukum dan pemahaman tentang peraturan di tingkat desa.

Perangkat desa, termasuk BPD, harus memahami batasan dan tanggung jawab masing-masing agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat merugikan masyarakat.

“Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif mengenai peraturan desa dan pentingnya menjaga integritas dalam menjalankan tugas. Pemerintah daerah juga harus aktif memantau dan memberikan arahan agar kasus serupa tidak terus berulang,” tutup Adnyana.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa aturan yang ada harus dijalankan dengan baik demi menjaga transparansi dan akuntabilitas di tingkat pemerintahan desa.

Pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan terus mengawal isu ini agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang merugikan warga desa.

pasang iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!