FOKUSRAKYAT.NET — Pada hakikatnya, Haji adalah ibadah ruhani hamba yang ingin berjumpa dengan Tuhannya di Baitullah, kemudian diberi tanda dan dikenal sebagai Ka’bah.
Namun, hanya hamba yang bertakwa yang dapat merasakannya. Karena itu, sebaik-baik bekal dalam ibadah haji adalah takwa (Al Baqarah: 197).
Takwa sendiri dapat dipahami sebagai sinkronisasi antara perbuatan hati, ucapan mulut, pandangan mata, pendengaran telinga dan segenap tindakan organ tubuh sehingga menjadi perilaku.
Karena itu pula, bekal takwa tadi hanya dapat disiapkan oleh orang beriman. Sedangkan iman itu sendiri adalah nikmat yang bersemayam dalam hati, tidak perempuan atau laki-laki.
Dalam berhaji, diselenggarakan penatalaksanaan melalui syariat meliputi rukun haji, yaitu Ihram, Wukuf di Arafah, Tawaf Ifadah, Sai, Tahallul dan tertib.
Pelaksanaan jasmaninya dilakukan oleh anggota tubuh manusia. Namun pelaksanaan ruhaninya melibatkan iman yang berbekal takwa tadi.
Karena itu, dalam setiap rukun Haji selalu ada dualitas jasmani dan ruhani, syariat dan hakikat, terbuka dan tersembunyi. Yang terbuka dapat dilihat saat setiap manusia menjalankan rukun haji.
Sementara yang tersembunyi tetap menjadi rahasia dan misteri yang bersifat spiritual hakiki dan substansi. Kita hanya bisa mendekati dan menghampiri nikmat yang hakiki dan substansi tersebut.
Untuk memahaminya perlu menjalani rukun haji, menghayati, menyelami hingga merasa karam secara ruhani.
Menghayati Rukun Haji dalam Pesan Simbolik
Rukun pertama, Ihram. Artinya karam kepada Allah Swt. Wujud kekaraman diri ini disimbolkan dengan pakaian ihram berwarna putih. Bukan hanya putih bersih bajunya, tetapi yang terpenting adalah bersih dan suci hatinya.
Artinya, semata-mata hanya satu tujuannya, yaitu datang memenuhi undangan Allah SWR dan Rasul-Nya di Baitullah. Sebab itu, kemudian mengucapkan “Labbaik Allahumma Labbaik”, “Ya Allah, aku datang memenuhi undangan-Mu Ya Allah”.
Siapa yang diundang? Siapa yang datang? Yang diundang dan yang datang adalah nikmat iman yang bersemayam dalam hati, namanya mukmin yang ada dalam tubuh manusia tidak perempuan atau laki-laki. Ini akan menghantarkan suasana kebatinan yang sebenar-benarnya bersih dari dasar hati yang suci.
Rukun kedua, Wukuf di Arafah. Haji adalah ‘arafah (al-hajju ‘arafah). Dasar ini kemudian dijadikan hujjah bahwa standar utama haji adalah wukuf di ‘Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah, dari sejak tergelincirnya matahari hingga tenggelamnya.
Wukuf adalah mendiamkan ucapan dan perbuatan yang hina, untuk mengaktifkan nikmat iman dalam hati nurani yang mulia, dengan cara berhakikat mengingat Allah Swt di Baitullah. Di Arafah inilah, Nabi Adam As terjeli secara batiniah melihat (‘arafah) Tuhannya di Baitullah. Sejak saat itu, bukit tersebut bernama ‘Arafah. Ini akan menghantarkan suasana kebatinan yang takjub, sebenar-benar takjub, takjub setinggi-tinggi takjub secara ruhani. Perjalanan batin spiritual setiap jamaah haji yang tidak biasa bagi yang bisa merasakannya.
Rukun ketiga, Tawaf. Tawaf bukan hanya kegiatan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Tawaf pada hakikatnya adalah kunjungan ruhani mengendarai jasad jasmani untuk datang mengintip-intip kepada yang mengundang jama’ah haji.
Saat tawaf, pandangan batin yang banyak pada yang satu dan pandangan yang satu yang ada di dalam kepada yang banyak. Sehingga saat tawaf, seharusnya benar-benar khusyuk batinnya, hening damai hatinya, tenang sejuk ruhaninya.
Walau badan fisik terhimpit, kadang terdesak, sering terombang-ambing oleh arus pergerakan lautan jamaah, tapi mata batin ruhani harus tetap penuh konsentrasi memandang dan mengintip-intip Yang Satu ada di dalam, supaya Ia memandang yang di dalam orang banyak.
Jika dihayati dan diresapi dengan sangat hati-hati dan mendalam, tak terasa perasaan sangat rindu hadir menyelinap, sebenar-benar rindu ingin bertemu dengan yang mengundang haji. Menghiba menangis terisak hingga merengek-rengek, menghiba-hiba ingin terjeli dapat berjumpa.
Rukun keempat, Sa’i. Merupakan aktivitas berjalan dan pada bagian tertentu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa, sebanyak tujuh kali. Siti Hijir telah mencontohkan, bahwa berlari-lari kecil tersebut dalam rangka mencari air untuk memandikan Isma’il As, sesaat setelah ia terlahir.
Kemudian, Isma’il As menghentak-hentakkan kakinya di tanah, hingga keluarlah dan muncratlah air dari dalam tanah tersebut. Siti Hijir kemudian mengucapkan “Zami Ya Allah, Zami Ya Allah“, “Tahan Ya Allah”, “Tahan Ya Allah“. Sejak saat itu, air tersebut dinamakan Air Zam-Zam. Jadi, rahasia dari peristiwa ini adalah sebagai pelajaran bagi jemaah, untuk senantiasa “menahan“ perbuatan yang tidak baik saat melaksanakan seluruh rukunnya haji. Karena itu disebut “Ibadah Haji“, sebab “ibadah“ itu artinya “menahan” dan amal artinya “berbuat”.
Menahan lebih berat daripada berbuat. Sehingga ibadah haji ini, bukan saja berat secara fisik jasmani, tapi juga berat secara ruhani karena itu membutuhkan bekal Takwa.
Rukun kelima, Tahallul. Tahallul bukan hanya membersihkan dan memotong sebagian rambut jamaah haji secara syari’at. Namun, yang juga dikehendaki adalah “memotong“ kehendak hawa nafsu kita sebagai manusia.
Susunan “tubuh manusia” terdiri dari urat, benak, tulang, daging, kulit, bulu atau roma, dan darah. Adapun susunan “sifat manusia” terdiri dari hawa, nafsu, dunia, dan syetan. Melalui tahallul, yang sebenarnya dikehendaki adalah terpotongnya “kehendak” hawa, nafsu, dunia, dan syetan pada diri manusia tadi, supaya tidak menguasai ruhani kita.
Rambut menjadi simbolik ritual haji. Namun sain modern kemudian melalui para ilmuwan menemukan analisis karakteristik mikroskopis terhadap sehelai rambut. Dalam sehelai rambut dapat diidentifikasi DNA pemiliknya, berapa usia pemiliknya, jenis kelamin, dan ras bahkan hingga sifat manusia yang terkandung di dalamnya.
Sehelai rambut seperti hard disk eskternal berkemampuan merekam semua aspek biologis bukan saja kilo, mega, giga, tera, peta, exa, zetta, melampaui perhitungan itu semua.
Rukun keenam, Tertib. Tertib adalah mendahulukan yang dahulu dan mengemudiankan yang kemudian. Secara syari’at, perbuatan yang disebut tertib, jika dalam pelaksanaan rukun haji, rukun yang dahulu didahulukan, setelah itu rukun selanjutnya dilaksanakan.
Namun, makna hakikat tertib sebagai mendahulukan yang dahulu adalah, mendahulukan berhakikat kepada Rasulullah Muhammad Saw sebagai ciptaan pertama (Awwal al-Khalq) yang dahulu ada, setelah itu kemudian kita berbuat, seperti mulai berbicara, berpendapat, dan sebagainya.
Praktiknya, “pulang“, kemudian “pergi“. Yang pulang adalah ruhani kita dengan cara mengingat Rasulullah Saw yang dahulu ada di Baitullah, setelah itu hati, ucapan, dan perbuatan beramal sesuai petunjuk yang datang daripada Rasulullah Saw.
Kuncinya, jangan terburu-buru dalam melakukan perbuatan apapun. Timbang rasa, rasa dipakai sebagai pertimbangan. Ingat (Zikir), kemudian berbuat. Inilah yang disebut tertib dalam setiap perbuatan.
Derajat Haji Mabrur/rah
Dengan demikian, seorang yang pulang ibadah haji dari tanah suci sebenarnya secara batiniah baru saja pulang bertemu Allah Swt dan Rasulullah Saw di Baitullah dan kemudian pergi kembali ke kampung dunia yang fana.
Proses ini secara mikrokosmis merupakan perjalanan ke dalam, bukan keluar. Perjalanan ke diri sendiri untuk menilai, mengoreksi dan menimbang rasa, bukan menilai orang lain. Sebuah proses dinamis, berubah, dan bergerak terus berlangsung sepanjang hayat manusia. Proses ini merupakan jalan jihad peperangan paling berat yang dalam setiap diri manusia.
Sementara yang namanya manusia memiliki hawa, nafsu, dunia, dan syetan. Perang melawan hawa, nafsu, dunia, dan syetan yang juga bersemayam dalam diri manusia inilah ujian paska haji yang harus dilalui untuk mencapai derajat haji mabrur/rah.
Sehingga ukuran mikrokosmis yang paling kecil apakah kita sudah mencapai derajat haji mabrur/rah, adalah hati kita masing-masing. Selain Allah Swt, kitalah yang paling mengetahui keburukan diri kita masing-masing.
Sepandai-panda kita merahasiakan suatu prilaku kepada orang lain, rahasia tersebut tidak akan lolos dan luput dalam hati. Sebab hati memiliki kekuatan dan paling otoritatif untuk mencatat semua perilaku yang dirahasiakan.
Sementara ukuran makrokosmis apakah haji kita sudah mencapai derajat haji mabrur/rah, adalah penilaian yang diberikan manusia dan lingkungan sosial sekitar kita.
Jika kita membawa kebaikan dan kemanfaatan sosial setalah pulang haji, ada perbedaan yang mampu menggerakkan orang lain untuk berubah dari salah ke soleh, itu sudah cukup untuk mengukur derajat mabrur/rah bagi orang yang baru pulang haji.
Ini juga bukan persoalan mudah. Sebab, selama manusia masih hidup dirinya akan terus digelantungi sifat hawa, nafsu, dunia, dan syetan. Sifat ini seperti bisikan halus dari bilik hati yang selalu dihembuskan oleh Iblis.
Itu pula sebabnya setelah pulang dari haji senantiasa kita harus berserah diri dan berlindung pada Allah Swt dari bisikan Iblis. Secara batiniah hati selalu hadir berada di Baitullah memohon ampunan atas berbagai penyimpangan hati.
Sebab hati menjadi arena jihad terbesar setiap orang, terutama jamah yang baru pulang dari haji. Jangan pamer harta dan ibadah, jangan iri, dengki, syirik, culas, dzolim, kejam, rakus, serakah atau kejahatan hati lainnya. Ini tidak mudah, karena kita berperang dengan diri sendiri.
Lebih berat lagi, dalam diri itu ada yang tau siapa diri kita sendiri. Mengenal diri paska haji menjadi penting karena, “Siapa mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya” (man arafa nafsahu fa arafa rabbahu).
Penulis : Iswandi Syahputra (Staf Ahli Menteri Agama RI)
Sumber : Kemenag